Senin, 23 Mei 2016

Merias Diri Menurut Pandangan Islam

Merias diri, bolehkah ?

  1. Menurut Islam Dalam Merias Diri
Merias, kata ini amatlah identik dengan wanita. Bagaimana tidak, wanita identik dengan kata cantik. Guna mendapatkan predikat cantik inilah, seorang wanita pun merias diri. Namun tahukah engkau wahai saudariku muslimah, bahwa Islam telah mengajarkan pada kita bagaimana cara berhias yang syar’i bagi seorang wanita? Sungguh Islam adalah agama yang sempurna. Islam tidak sepenuhnya melarang seorang wanita ‘tuk berhias, justru ia mengajarkan cara berhias yang baik tanpa harus merugikan, apalagi merendahkan martabat wanita itu sendiri.
sesungguhnya Allah ta‘ala berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A‘raaf, 7: 31).
Dari ayat di atas, tampaklah bahwa kebolehan untuk berhias ada pada laki-laki dan wanita. Namun ketahuilah saudariku, ada sisi perbedaan pada hukum sesuatu yang digunakan untuk berhias dan keadaan berhias antara kedua kaum tersebut. Dalam bahasan ini, kita hanya mendiskusikan tentang kaidah berhias bagi wanita.
1.      Larangan Tabarruj
Adapun kaidah pertama yang harus diperhatikan bagi wanita yang hendak berhias adalah hendaknya ia menghindari perbuatan tabarrujTabarruj secara bahasa diambil dari kata al-burj (bintang, sesuatu yang terang, dan tampak). Di antara maknanya adalah berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti: kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis, dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan perhiasan tambahan. Imam asy-Syaukani berkata, “At-Tabarruj adalah dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang mana dapat memancing syahwat (hasrat) laki-laki” (Fathul Qadiir karya asy- Syaukani).

Allah ta‘ala berfirman (yang artinya),
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al-Ahzaab, 33: 33).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata, “Arti ayat ini: janganlah kalian (wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian, sebagaimana kebiasaan wanita-wanita jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan sebab-sebabnya” (Taisiirul Kariimir Rahmaan karya Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa‘di).

2.      Memperhatikan Aurat
Seorang wanita yang berhias hendaknya ia paham mana anggota tubuhnya yang termasuk aurat dan mana yang bukan. Aurat sendiri adalah celah dan cela pada sesuatu, atau setiap hal yang butuh ditutup, atau setiap apa yang dirasa memalukan apabila nampak, atau apa yang ditutupi oleh manusia karena malu, atau ia juga berarti kemaluan itu sendiri (al-Mu‘jamul Wasith).
Lalu, mana saja anggota tubuh wanita yang termasuk aurat? Pada asalnya secara umum wanita itu adalah aurat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya” (HR Tirmidzi, dinilai shahih oleh al-Albani).
Adapun aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya. Hal ini sudah merupakan ijma‘ (kesepakatan) para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat diantara ulama terkait apakah wajah dan kedua telapak tangan termasuk aurat jika di hadapan laki-laki non mahram.
Sedangkan aurat wanita di hadapan wanita lain adalah anggota-anggota tubuh yang biasa diberi perhiasan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
اَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Tidak boleh seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” (Hadits shahih Riwayat Muslim, dari Abu Sa‘id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu).
Syaikh al-Albani mengatakan, “Sedangkan perempuan muslimah di hadapan sesama perempuan muslimah maka perempuan adalah aurat kecuali bagian tubuhnya yang biasa diberi perhiasan. Yaitu kepala, telinga, leher, bagian atas dada yang biasa diberi kalung, hasta dengan sedikit lengan atas yang biasa diberi hiasan lengan, telapak kaki, dan bagian bawah betis yang biasa diberi gelang kaki. Sedangkan bagian tubuh yang lain adalah aurat, tidak boleh bagi seorang muslimah demikian pula mahram dari seorang perempuan untuk melihat bagian-bagian tubuh di atas dan tidak boleh bagi perempuan tersebut untuk menampakkannya

3.      Berhias yang Dilarang
Maka jika sudah tak ada lagi aurat antara suami dan istri, hendaknya seorang wanita (istri) berhias semenarik mungkin di hadapan suaminya. Seorang istri hendaknya berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyari‘atkan. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya.
Hal ini termasuk diantara tujuan syari‘at. Bukankah salah satu ciri istri yang baik adalah yang menyenangkan ketika dipandang, wahai saudariku? Adapun bentuk-bentuk berhiasnya bisa dengan bermacam-macam. Mulai dari menjaga kebersihan badan, menyisir rambut, mengenakan wewangian, mengenakan baju yang menarik, mencukur bulu kemaluan, dll.
Namun yang hendaknya dicamkan seorang istri adalah hendaknya ia berhias dengan sesuatu yang hukumnya mubah (bukan dari bahan yang haram) dan tidak memudharatkan. Tidak diperbolehkan pula untuk berhias dengan cara yang dilarang oleh Islam, yaitu:
a.       Menyambung rambut (al-washl )Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat penyambung rambut dan orang yang minta disambung rambutnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
b.      Menato tubuh (al-wasim), mencukur alis (an-namsh), dan mengikir gigi (at-taflij)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, serta wanita yang meregangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
c.       Mengenakan wewangian bukan untuk suaminya (ketika keluar rumah)Baginda nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap wanita yang menggunakan wewangian, kemudian ia keluar dan melewati sekelompok manusia agar mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia adalah seorang pezina, dan setiap mata itu adalah pezina.” (Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan al-Hakim dari jalan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu)
d.      Memanjangkan kukuNabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima (yaitu): khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
e.       Berhias menyerupai kaum lelaki“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupakan diri seperti wanita dan melaknat wanita yang menyerupakan diri seperti laki-laki.” (Riwayat Bukhari). Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.

Wahai Saudariku, sungguh Allah ta‘ala yang mensyari‘atkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi para hamba-Nya dan Dia-lah yang mensyari‘atkan bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap zaman dan tempat. Maka, sudah sepantasnya bagi kita wanita muslimah untuk taat lagi tunduk kepada syari‘at Allah, termasuk di dalamnya aturan untuk berhias.

  1. Merias Diri Ala Istri Rasul SAW
Penampilan adalah salah satu hal yang sangat diperhatikan dalam islam. Karena itu terdapat beberapa riwayat dalam sunnah nabawiyah yang menjelaskan sebagian dari detil-detil cara tampil cantik dan sehat alami ala para istri nabi sebagaimana berikut:
1.      Mengonsumsi mentimun dan kurma basah, Sebuah riwayat dari Ibnu Majah menyatakan bahwa Aisyah RA disarankan ibunya untuk memakan mentimun dicampur kurma basah untuk mendapatkan tubuh yang ideal.
2.      Berjalan kaki, Ini merupakan bentuk olah raga yang diajarkan oleh Rasulullah. Selain mudah dan murah, berjalan kaki dapat melancarkan sirkulasi darah dan mempercepat proses pembakaran lemak demi mendapatkan tubuh yang sehat dan ideal.
3.      Mengonsumsi minyak zaitun, Nabi dan keluarga biasa mengonsumsi minyak zaitun sebagai campuran saat makan roti. Minyak zaitun terbukti kaya akan kandungan alami yang baik bagi tubuh. Minyak zaitun bila dioleskan pada wajah juga terbukti dapat menjaga kelembaban kulit.
4.      Mengonsumsi air puith dan madu, Nabi dan keluarga rutin minum segelas air putih yang dicampur dengan sesendok madu untuk menyegarkan diri dan mengawali pagi. Madu yang kaya akan glukosa terbukti mampu menjadi sumber energi. Selain itu, madu dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh dari segala penyakit dan menjadi zat yang mampu melakukan proses detoksifikasi secara alami sehingga kecantikan alami terpancar dari tubuh yang sehat,
5.      Mengoleskan minyak wangi dzarirah, sebuat riwayat menyebutkan bahwa nabi pernah menganjurkan sang istri untuk mengolesi minyak dzarirah pada kulitnya yang sedang berjerawat sambil memanjatkan doa agar Allah menghilangkan jerawat tersebut. Minyak ini terbuat dari sari batang dzarirah yang bersifat panas dan kering sehingga dapat menghentikan tumbuhnya jerawat di wajah.
6.      Menjaga kebersihan diri dan berdandan, terdapat beberapa riwayat yang menganjurkan wanita untuk selalu menjaga kebersihan diri dan juga berdandan dengan niat membahagiakan suami. Menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pakaian, mandi, rutin memotong kuku, memotong rambut kemaluan, memakai wangi-wangian seperlunya dihadapan suami. Seorang istri yang selalu tampil cantik dihadapan suaminya akan mampu menyenangkankan suaminya. Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan pandangan suami terhadap istrinya.
  1. Kosmetik water proof menurut syariat islam
Tampil menarik dan cantik sudah merupakan fitrah kaum hawa. Beberapa wanita bahkan melakukan apa saja demi tampil menarik. Dari mengecat kuku hingga mempertebal alis dengan maskara atau menggunakan alas bedak tahan lama. Semua ini ternyata sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagian muslimah. Selain praktis, kosmetik water proof (tahan air) sering dipilih kaum wanita  karena lebih tahan lama. Namun, bagaimana hukumnya jika menggunakan kosmetik ini? Benarkah penggunaannya membuat pemakainya menjadi tidak sah wudhunya?
Kosmetik water proof adalah berbagai produk kosmetik mulai dari maskara, lipstik, serta kosmetik yang berbahan dasar minyak silikon (silicon-based oil), yang disebut dimethicone. Bahan ini membantu untuk menjaga agar kulit tetap lembut. Selain itu, ia juga membantu agar produk kosmetik ini mudah diserap oleh kulit dan rambut. Bahan-bahan inilah yang membuat kosmetikwater proof tidak mudah terhapus. Selain itu, kosmetik water proof termasuk air dalam minyak, yang berarti komponen minyak lebih besar daripada komponen airnya. Komponen minyak pada kosmetik water proof ini menghalangi penetrasi air ke dalam kulit. Oleh sebab itu, untuk membersihkannya diperlukan suatu surfaktan, sebuah bahan yang dapat mengurangi kontak minyak dengan kulit sehingga komestikwater proof dapat dibersihkan. Umumnya, pembersih yang digunakan adalah dalam bentuk milk cleanser dan face tonic.
Bolehkah menggunakan kosmetik water proof menurut syari’at Islam?
Sering kita temui pula di masyarakat, pada acara-acara tertentu seperti acara pernikahan, wisuda, atau pesta, seorang muslimah enggan untuk membersihkan terlebih dahulu make up yang dikenakan sebelum berwhudu. Selain karena tidak praktis, juga karena wanita ingin riasannya tetap bagus meski menjalankan shalat.
Allah berfirman dalam surat Al-Mu’minum  ayat 51, “Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Dia perintahkan kepada para rasul.”
Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya kosmetik water proof, sebaiknya kosmetik water proof digunakan pada acara-acara khusus saja seperti pernikahan, pesta dan acara penting lainnya, atau sebaiknya menggunakan maskara atau kosmetik water proof lainnya pada saat sedang menstruasi saja sehingga tidak perlu repot memikirkan bagaimana menghapusnya.
Sebagai muslimah, harus pintar dalam memilih kosmetik. Jika ingin tampil menarik dan berbeda juga harus tetap mempertimbangkannya dari segi syari’at Islam. Percuma saja kita tampil cantik di hadapan makhluk Allah namun buruk di mata Sang Pencipta karena amalan.
Ingatlah baik-baik bahwa berwudhu adalah aktivitas penting agar kita bisa melaksanakan shalat. Nabi Muhammad bersabda, “Shalat tidak diterima tanpa wudhu.” Jika ada bagian tubuh yang semestinya dibasuh tetapi tidak dibasuh maka wudhunya tidak lengkap dan shalat yang dikerjakannya pun menjadi tidak sah.
Meskipun wantia diperbolehkan menggunakan lipstik atau kosmetik lainnya untuk mempercantik dirinya sendiri, tetapi seperti hal lainnya dalam Islam maka ini pun harus dalam batasan yang tidak berlebih-lebihan. Terlalu banyak menggunakan kosmetik menghabiskan uang juga waktu begitu banyak tidak dierima dalam sistem dan nilai-nilai Islam. Islam menginginkan pengikutnya, baik itu laki-laki maupun wanita, untuk menjadi seseorang yang bersikap rendah hati, sopan, tidak berlebih-lebihan, dan sederhana.
Jika ada muslimah yang keluar dari rumahnya, terutama untuk acara kumpul-kumpul bersama maka mereka mesti lebih hati-hati dengan penampilannya. Penampilan mereka harus tidak terkesan pamer atau terkesan mengundang laki-laki untuk mendekatinya. Mereka tetap bisa tampil sesuai acara, cantik, rapi, tetapi penampilannya itu tetap menjaga harga diri dan kehormatannya. Mereka harus menjaga kesucian dirinya sendiri dan juga kesucian masyarakat di sekitarnya

Sumber : http://blog.mtt.or.id/berdandan-bagi-wanita-muslimah/
Artikel Buletin Zuhairah
Penulis: Nurul Dwi Sabtia S.IP
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki
Maraji’:

  • Al-AlbaniSyaikh Muhammad Nashiruddin. Adaab az-Zifaaf [Terj]. Media Hidayah.
  • Majmu‘ah Minal ‘Ulama. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita. Darul Haq.
  • Syabir,Dr. Muhammad Utsman. Fiqh Kecantikan. Pustaka at-Tibyan.
  • Razzaq, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir. Panduan Lengkap Nikah dari “A” Sampai “Z”. Pustaka Ibnu Katsir.
  • Al-‘Utsaimin,Syaikh Muhammad. Shahih Fikih Wanita. Akbar Media

tanya jawab konseling dan psikoterapi dalam islam

Soal
1.      Manusia sebagai obyek material bimbingan konseling  dan psikoterapi Islam, sejak lahir telah dilengkapi dengan fitrah/potensi ke Islaman, Namun dalam perkembangan hidupnya, fitrah tersebut mungkin sekali mengalami penyimpangan dari kejadian aslinya, yaitu selain islam karena faktor eksternal, (al-hadits).
èBagaimanakah menurut anda peran bimbingan konseling islam dalam upaya prefensi agar fitrah tersebut tetap berkembang sesuai dengan kejadian aslinya...?
Jawaban :
Bimbingan dan konseling Islami sebagai upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah (potensi) manusia dan atau kembali kepada fitrah dengan cara memberdayakan (enpowering) iman, akal, dan kemauan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya untuk mempelajari tuntunan Allah dan Rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu dapat berkembang dengan benar dan kokoh sesuai tuntunan-Nya. Oleh karena itu, referensi utama yang dijadikan sebagai rujukan dalam bimbingan dan konseling Islami adalah “tuntunan Allah SWT“, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Maka menusia patuh dan taaat kepada aturan yang ada dalam Al-qur’an dan Hadits.
Peran utama konselor dalam bimbingan dan konseling Islami adalah sebagai “Pengingat”, sebagai orang yang mengingatkan individu yang dibimbing dengan ajaran agama Islam. Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan Al-Qu’ran sebagai pedoman hidup yang sempurna, jika ada individu yang “kebingungan” dan “salah jalan” dalam menjalani kehidupannya, diduga individu tersebut belum memahami petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai implementasi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah peran muslim yang mempunyai keahlian sebagai konselor untuk mengingatkannya.
Manusia dilengkapi dengan fitrah iman sebagai navigator dan kontrol bagi fitrah yang lain (tubuh, jiwa, dan nafsu). Oleh karena itu, dalam bimbingan dan konseling Islami harus fokus pada menjaga, memelihara, dan menumbuhkan iman dalam bentuk ‘ pemahaman individu terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasul, serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memenuhi fitrahnya. Namun, pemenuhannya diatur dengan hukum Allah. Bimbingan dan konseling Islami harus ditujukan untuk memungkinkan individu secara bertahap membimbing diri mereka sendiri dalam memenuhi kebutuhan fitrahnya sesuai dengan hukum Allah.
2.      Dalam proses layanan bimbingan konseling islam (terutama yang berfungsi kuratif), diketahui terdapat tiga teori utama, yaitu teori Hikmah, Teori Mauidhoh Hasanah dan teori Mujadalah yang baik. (Bakran, M. Hamdani, 2001). Dalam teori mauidhah hasanah, digambarkan oleh Bakran, dengan cara mengambil pelajaran dari percontohan kehidupan para nabi dan rasul.
è Coba berikan dua contoh kasus keteladanan rasul (muhammad saw) dalam kontek bimbingan konseling, tulis haditsnya atau terjemahannya.
Dalam suatu kisah diceritakanToleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ, هَلَكْتُ. قَالَ: مَالَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ وَأنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: َلا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لا. فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لا, قَالَ: فَمَكُثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَبَينَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهَا تَمْرٌ, قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الَّرجُلُ: أَعَلَ أَفْقََر مِنِّي يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَوَ اللهِ مَابَيْنَ َلابَتَيْهَا, يُرِيْدُ الْحَرَّتَيْنِ, أَهْلُ بَيْتِ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
Artinya: "Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah, celakalah aku'. Rasul bertanya: 'Apa yang mencelakakanmu?' Ia menjawab: 'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit (kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu dengannya'". (H.R. Bukhari)
Hadist di atas menunjukkan kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada para sahabatnya yang sedang bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan kemampuan masing-masing sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa melihat persoalan yang sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina kepribadian sahabat sehingga mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya dengan suka hati, tanpa merasa terpaksa.
Dalam suatu riwayat (hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu umamah) yang artinya : Seorang pemuda yang mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang dihadapan para sahabat: Wahai Rasulullah, apakah engkau dapat mengizinkan saya untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu para sahabat ribut dan mau memukulinya, Nabi segera melarang dan memanggil, bawalah pemuda itu dekat-dekat kepadaku. Setelah pemuda itu duduk didekat Nabi, Nabi bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Pemuda itu menjawab, demi Allah saya tidak akan membiarkannya. Bagaimana terhadap anak perempuanmu? Pemuda itu menjawab, tidak juga ya Rasul, demi Allah, saya tidak akan membiarkannya. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga ya Rasul, saya tidak akan membiarkannya. Nabi meneruskan, begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perempuannya atau bibinya dizinahi kemudiani. Nabi kemudian meletakkan tangannya kedada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda itu, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya.
Dari kisah diatas terlihatlah bahwa Rasulullah sebagai konselor Islami memberikan nasehat,arahan dan bimbingan penuh persuasif, lemah lembut penuh kesungguhan dan kesabaran menghadapi seseorang pemuda (klien) yang meminta pendapat kepada beliau.
Lebih jauh dari itu, Allah SWT memberikan penjelasan bahwa diantara tugas-tuggas Rasulullah Saw diutus kemuka bumi ini adalah untuk menyampaikan kebenaran dan pengajaran pada manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat Yunus ayat 57 yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit ( yang berada) dalam dada dan pentunjuk serta rahmad bagi orang-orang yang beriman”
Berdasarkan ayat dan hadis diatas menjelaskan bahwa Alquran dan Sunnah Rasul merupakan Landasan ideal dan konseptual dari bimbingan dan konseling Islam. Karena al-quran dan Hadis dalam pandangan Islam merupakan pandangan naqliah. Disamping landasan naqliah, bimbingan konseling Islami juga memerlukan landasan aqliyah, dalam hal ini termasuk filsafat Islam dan landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam.
3.      Sebagai pekerjaan professional, konseling dan psikoterapi islam memiliki fungsi dan mekanisme kerja yang specific mengikuti alur keilmuan yang mendasarinya, sehingga untuk saat ini konseling dan psikoterapi islami dirasakan sama pentingnya dengan bidang-bidang pekerjaan professional yang lain seperti dokter spesialis, guru, jaksa,  perawat, dll).
è Coba berikan komentar dimana letak pentingnya konseling dan psikoterapi islam di era kemajuan tehnologi dan komunikasi seperti sekarang ini.
Jawaban :
Era globalisasi dan modernisasi membawa dampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia, satu sisi perkembangan ini memberi manfaat dalam membantu aktifitas manusia tetapi di sisi lain menimbulkan permasalahan baru seperti de humanisasi masyarakat modern, merenggangnya ikatan-ikatan sosial, dan terabaikannya nilai-nilai spiritual.
Dalam kondisi seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin secara besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kemampuan iptek yang mengahasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan rohani. Kegoncangan batin yang diperkirakan akan melanda umat manusia ini akan mempengaruhi kehidupan psikologis manusia. Pada kondisi ini, manusia akan mencari penentram batin, antara lain agama. Hal ini pula barangkali yang menyebabkan munculnya ramalan futurolog bahwa di era globalisasi agama akan mempengaruhi jiwa manusia. Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial, bila kebutuhan tersebut terpenuhi, maka manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dihadapinya.
William James, seorang filosuf dan ahli jiwa dari Amerika Serikat, mengemukakan tentang pentingnya terapi keagamaan atau keimanan, ia mengatakan bahwa tidak diragukan lagi terapi terbaik bagi kesehatan adalah keimanan kepada Tuhan, sebab individu yang benar-benar religius akan selalu siap menghadapi malapetaka yang akan terjadi. Sedangkan Carl Gustav Jung (Tokoh Psikologi Analistik), sebagaimana dikutip Amir, menyatakan bahwa gangguan psikis pada dasarnya bersumber dari masalah religius. Hal ini juga dapat dilihat dai ungkapan “psikoneurosis” harus dipahami sebagai penderitaan yang belum menemukan artinya, penyebab dari penderitaan ini adalah Stagnasi (penghentian) sepiritual atau Sterisas psikis.
Hal tersebut sangat menjelaskan bagaimana pentingnya konseling dan psikoterapi islam di era modern. Selain dapat mengatasi masalah juga dapat meningkatnkan keimanan atau kereligiusitas seseorang.
4.      Sebagian pakar konseling/psikoterapi menyatakan bahwa antara konseling dan psikoterapi adalah identik baik secara konsep maupun mekanismenya, tetapi sebagian yang lain menyatakan bahwa diantara keduanya terdapat persamaan dan perbedaan dalam mekanismenya.
è Coba lakukan identifikasi (menurut Anda) dimanakah letak perbedaan diantara keduanya, dan berikan contohnya.
Jawaban :
Menurut saya pebedaan antara konseling dan psikoterapi adalah konseling lebih berfokus pada interaksi antara konselor dan konseli dan lebihmengutamakan pembicaraan serta komunikasi non verbal yan g ada dalam proses konseling berlangsung. Juga perberian solusi agar konseli dapat lebih memahami lingkungan serta mampu membuat keputusan yang tepat dan konseli dapat menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakini untuk menyelesaikan masalahnya.

Sedangkan psikoterapi lebih terfokus pada treatment terhadap masalah emosional an juga lebih dapat diandalkan pada klien yang mengalami penyimpangan dan juga lebih berusaha untuk menghilangkan simptom-simptom yang dianggap mengganggu dan lebih mengusahakan agar klien dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian ke arah yang positif.

contoh laporan penelitian

Contoh laporan penelitian kualitatif :
Penerimaan Diri Penyandang Disabilitas



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Penelitian
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya sehingga walaupun pada diri setiap manusia ada kelebihan dan kekurangannya akan menjadi suatu keunikan tersendiri bagi seseorang tersebut. Setiap manusia menginginkan bisa hidup normal sesuai rencana yang diharapkan tetapi seringkali harapan itu sirna karena ada suatu peristiwa yang tidak terduga. Salah satu kejadian yang tidak terduga adalah kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan sehingga anggota tubuh menjadi kehilangan fungsinya.
Kecelakaan lalu lintas menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para pengguna jalan raya. Bahkan kecelakaan lalu lintas menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia maupun secara global. Dijelaskan Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Condro Kirono, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian terbesar ke-9 di Dunia.
Kecelakaan lau lintas juga dapat membuat seseorang menjadi penyandang cacat. Apabila orang tersebut mengalami kecelakaan yang tidak terlalu fatal tetapi merusak salah satu organ tubuhnya menjadi tidak dapat berfungsi kembali.

1
 
Menurut undang-undang No. 4 Tahun 1997 pasal 1 ayat 1 tentang penyandang cacat diartikan adalah setiap orang mempunyai kelalaian fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental serta penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada pokok-pokok isi konvensi bagian pembukaan pada angka 1 dijelaskan pengertian penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Menurut data Susenas 2012 dalam infodatin mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan presentase  penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar dibawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.

%
 
Sumber : BPS
Gambar 1.1 Presentase Penduduk Penyandang Disabilitas berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012
Seseorang yang mengalami disabilitas fisik karena kecelakaan belum tentu bisa menerima diri dengan baik. Tidak banyak orang yang dapat menerima disabilitas fisik yang dialaminya karena kecelakaan. Penerimaan diri merupakan suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik kepribadiannya, akan kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut. Penerimaan diri adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, potensi yang dimiliki serta pengakuan akan keterbatasannya.(Caplin, 2006).
Seseorang yang mempunyai disabilitas fisik karena kecelakaan dapat menyesuaikan diri yang baik, sehinga bisa menerima kondisi sekarang dan beraktivitas dengan baik. Penerimaan diri yang baik dapat membuat  seseorang penyandang disabilitas fisik karena kecelakaan merasa senang, tenang dan dapat menyesuaikan dirinya untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Berbagai masalah yang dihadapi oleh penyandang disabilitas fisik akibat kecelakaan apabila direspon secara negative makan akan memicu munculnya tekanan-tekanan dalam dirinya sehingga akan gagal dalam menerima dirinya.

B.     Fokus Penelitian
Penelitian ini akan meneliti tentang bagaimana penerimaan diri pada seseorang penyandang disabilitas fisik karena kecelakaan yang dulu kondisi fisiknya normal dan mempunyai suatu impian yang besar dan tiba-tiba suatu kecelakaan yang mengakibatkan kondisi fisiknya berbeda dengan sebelumnya sehingga sekarang menyandang predikat disabilitas. Pertama, peneliti akan mencari tau bagaimana gambaran penerimaan diri penyandang disabilitas fisik untuk menjalani aktivitas sehari-hari dan masalah dalam kehidupannya dengan baik. Kedua, apa saja yang menjadi faktor-faktor yang dapat membuat seorang penyandang disabilitas dapat menerima dirinya sendiri.

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk memahami gambaran penyandang disabilitas tentang penerimaan keadaan dirinya yang baru akibat kecelakaan.
2.      Untuk menemukan faktor-faktor yang membantu penyandang disabilitas dapat menerima keadaan dirinya.

D.    Manfaat Penelitian
      Manfaat penelitian :
1.      Secara Teoritis
Sacara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan didalam pengembangan ilmu psikologi perkembangan mengenai mekanisme penerimaan diri pada penyandang disabilitas fisik.
2.      Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam memberikan pengetahuan tentang penerimaan diri pada penyandang disabilitas fisik agar dapat mengatasi permasalahan atau kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

E.     Keaslian Penelitian
Purnaningtyas (2012), dalam penelitiannya tentang penerimaan diri pada laki-laki dewasa penyandang disabilitas fisik karena kecelakaan mendapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah faktor internal yang beruppa aspirasi, realistis, keberhasilan, perspektif diri, wawasan sosial, konsep diri yang stabil dan faktor eksternal yang berupa dukungan dari keluarga dan lingkungan sehingga penyandang disabilitas dapat menerima diri sendiri dengan baik. Perbedaan dalam penelitin kali ini adalah penelitian ini menggunakan subjek yang baru dan perbedaan subjek dalam proses penerimaan diri.
Fitriana (2013), dalam penelitiannya tentang self concept dengan adversity quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksadengan metode penelitian kuantitatif, didapatkan hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self concept dengan adversity quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksa dimana kedua variable tersebut berhuungan kuat dan berkorelasi positif.
Izzati & Waluya (2012), dalam jurnal penelitiannya tentang gambaran penerimaan diri pada penderita psoriasis. Psoriasis adalah penyakit kulit dimana penderita mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat, yaitu 2-4 hari. Setiap individu yang mengalami penyakit tersebut akan berespon berbeda. Dalam penelitian ini penerimaan diri penderita psoriasis dapat dilihat dari factor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Konseptualisasi Topik Yang Diteliti
1.      Definisi Disabilitas
Somantri (2007) mengartikan disabilitas sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal atau dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan berdiri sendiri. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir.
Menurut (Dinsos, 2012) dalam ketentuan umum Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, khususnya Pasal 1 dan pada bagian penjelasannya disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.
Cacat fisik adalah seseorang yang menderita kelainan pada tulang atau sendi anggota gerak dan tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas dan bawah, seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision), seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara wajar/layak.


6
 
 

Kriteria Disabilitas:
a.       Anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki
b.      Cacat tulang/persendian
c.       Cacat sendi otot dan tungkai, lengan dan kaki
d.      Lumpuh
e.       Buta total (buta kedua mata)
f.       Masih mempunyai sisa penglihatan/kurang awas (low vision)
g.      Tidak dapat mendengar/memahami perkataan yang disampaikan pada jarak satu meter tanpa alat bantu dengar
h.      Tidak dapat berbicara sama sekali/berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti)
i.        Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
      Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang cacat fisik adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada pada anggota tubuhnya yang diakibatkan dari kecelakaan, faktor bawaan, maupun penyakit sehingga menghambat dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Dalam Ejournal USA Sosiety 7 values tentang Disability 7 Ability (Yeager, 2006) menyebutkan, A disability can directly or indirectly limit a person’s ability to engage in normal life experiences. The direct effects are fairly easy to identifyan inability to see, for example, affects personal mobility and the ability to read regular print or to watch television. But the indirect effects are sometimes less easily identified, or compensated for, and just as debilitating. A disability can make getting an education more difficult, so that some people with no intellectual or cognitive disability still may be less educated than others. Depending on the disability, and access to support, other indirect effects can include reduced mobility, limited social access, more difficulty finding a job (or being able to get to work or to do the job physically), and difficulty taking care of health and fitness and nutritional needs. Recognizing that people with disabilities, as a group, tend to be less educated, have higher unemployment, and are frequently in poorer health often for reasons not resulting directly from their disability the United States has developed programs and legal protections to begin addressing these issues.
2.      Definisi Penerimaan Diri
Menurut Supratiknya (1995), suatu penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain.
Menurut Maslow (2000, dalam Feist & Feist, 2008), penerimaan diri adalah pribadi yang dapat menerima diri apa adanya, memiliki sikap positif atas dirinya, tidak terbebani oleh kecemasan atau rasa malu. Subjek menerima kelemahan dan kelebihan dirinya.
Rogers (2002, dalam Feist & Feist, 2008) penerimaan diri adalah individu yang memiliki pandangan yang realistik mengenai dunia sehingga memiliki pandangan yang lebih akurat mengenai potensi-potensi yang ada dalam dirinya, mampu menyempitkan jurang diri-ideal dan diri-rill, lebih terbuka terhadap pengalaman, lebih efektif dalam memecahkan masalah sendiri dan memiliki tingkat anggapan positif lebih tinggi sehingga dapat mengembangkan pandangan tentang siapa dirinya sesungguhnya.
Papalia, Olds dan Feldman (2004) menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya.
Darajat (2003) menyatakan rasa dapat menerima diri dengan dengan sungguh-sungguh inilah yang akan menghindarkan individu dari jatuh kepada rasa rendah diri, akan hilangnya kepercayaan diri sehingga akan mudah tersinggung dan akan mudah menyinggung orang lain.
Horney (1937) dalam Kenneth (1973) menyatakan proposes that the person who doesn’t see himself as lovable is unable to love others. Fromm (1939) states that we should love ourselves, for the ability to love self and the ability to love others go hand in hand. Futher,ore, he says that a failure to accept self is accompanied by a basic hostility to ward others.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah seseorang yang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadinya dan mampu melangsungkan hidupnya dengan suatu kelebihan dan kekuranganya tanpa menyalahkan orang lain dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain.



3.      Ciri-Ciri Seseorang Mempunyai Penerimaan Diri Yang Baik
Allport (1997, dalam Hjelle & Zieglar, 1981) mengungkapkan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang-orang yang:
a.       Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya
Seseorang bisa mendapatkan sisi lain dari dirinya dan tidak berhenti pada kebiasaan dan keterbatasan serta aktivitas yang hanya berhubungan dengan kebutuhan kebutuhan dan keinginan-keinginan sendiri.
b.      Seseorang yang dapat mengatur dan bertoleransi dengan keadaan emosi
Dasar individu yang baik adalah kesan positif terhadap dirinya sendiri sehingga dengan demikian seseorang akan dapat bertoleransi dengan frustrasi dan kemarahan atas kekurangan dirinya dengan baik tanpa perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan bermusuhan.
c.       Dapat berinteraksi dengan orang lain
Dua hal yang menjadi kriteria hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain adalah keintiman dan kasih sayang.
d.      Memiliki persepsi yang realistik dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
Seseorang melihat pada hal-hal yang ada pada dirinya, bukan pada hal-hal yang diharapkan ada pada dirinya sehingga berpijak pada realitas, bukan pada kebutuhan-kebutuhan dan fantasi.
e.       Memiliki kedalaman wawasan dan rasa humor
Pribadi dewasa yang mengenal dirinya tidak perlu melimpahkan kesalahan dan kelemahan kepada orang lain, melihat dirinya secara objektif, sangup menerima dalam hidup dan memiliki rasa humor.
f.       Memiliki konsep yang jelas tentang tujuan hidup
Tanpa ini wawasan mereka akan terasa kosong dan tandus. Ada rasa humor akan merosot, sikap religius dan filsafat hidup yang menyatukan memiliki suara hati yang berkembang baik dan mempunyai hasrat kuat untuk melayani orang lain.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri penerimaan diri antara lain memilki penghargaan yang tinggi pada potensi yang dimiliki, memiliki rasa humor dan mudah bergaul, bisa mengatur emosi dengan baik, bertanggung jawab, terbuka pada diri dan orang lain serta memiliki tujuan hidup.

4.      Faktor-Faktor Penerimaan Diri yang Baik
Setiap orang memiliki ideal self atau menginginkan diri yang lebih dari pada pribadi yang sesungguhnya sehingga tidak semua individu bisa menerima dirinya. Apabila ideal self itu tidak realistis dan sulit tercapai dalam kehidupan nyata maka akan frustasi, cemas, kecewa.
Hurlock (2004) menyatakan penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah :
a.       Aspirasi yang realistis
Individu yang mampu menerima dirinya harus realistis tentang dirinya serta mempunyai keinginan yang dapat di capai.


b.      Keberhasilan
Individu menerima dirinya, harus mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga potensinya tersebut dapat berkembang secara maksimal.
c.       Perspektif Diri
Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki.
d.      Wawasan sosial
Kemampuan melihat diri sebagaimana pandangan orang lain tentang diri individu tersebut.
e.       Konsep diri yang stabil.
Bila individu melihat dirinya dengan secara konsisten dari suatu saat dan saat-saat lainnya.

Chaplin (2005) berpendapat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah:
a.       Konsep diri yang stabil, individu yang mempunyai konsep diri yang stabil akan melihat dirinya dari waktu ke waktu secara konstan dan tidak akan berubah-ubah.
b.      Kondisi emosi yang menyenangkan dengan tidak menunjukkan tidak adanya tekanan emosi sehingga memungkinkan individu untuk memilih yang terbaik dan sesuai dengan dirinya selain itu individu juga memiliki sikap yang positif dan menyenangkan yang akan mengarahkan pada pembentukan sikap individu untuk mudah menerima diri karena tidak adanya penolakan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi diri adalah harapan yang realistis, konsep diri yang stabil, kondisi emosi yang menyenangkan, mengembangkan keberhasilan, mempunyai perspektif diri dan wawasan sosial.
B.     Teori Abraham Maslow
Abraham H. Maslow dilahirkan pada tahun 1908 dalam keluarga imigran Rusia-Yahudi di Brooklyn, New York. Ia seorang yang pemalu, neurotik, dan depresif namun memiliki rasa ingin tahu yang besar dan kecerdasan otak yang luar biasa. Dengan IQ 195, ia unggul di sekolah (Butler-Bowdon, 2005).
Maslow hidup dalam zaman di mana bermunculan banyak aliran psikologi yang baru tumbuh sebagai disiplin ilmu yang relatif muda. Ketika pada tahun 1954 Maslow menerbitkan bukunya yang berjudul Motivation and Personality, dua teori yang sangat populer dan berpengaruh di universitas-universitas Amerika adalah Psikoanalisa Sigmund Freud dan Behaviorisme John B. Watson (Goble, 1987)
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
1.      Suatu usaha yang positif untuk berkembang
2.      Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi lima hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya
Tahapan tertinggi dalam tangga hierarki motivasi manusia dari Abaraham Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa manusia akan berusaha keras untuk mendapatkan aktualisasi diri mereka, atau realisasi dari potensi diri manusia seutuhnya, ketika mereka telah meraih kepuasan dari kebutuhan yang lebih mendasarnya.
Maslow juga mengutarakan penjelasannya sendiri tentang kepribadian manusia yang sehat. Teori psikodinamika cenderung untuk didasarkan pada studi kasus klinis maka dari itu akan sangat kurang dalam penjelasannya tentang kepribadian yang sehat. Untuk sampai pada penjelasan ini, Maslow mengkaji tokoh yang sangat luar biasa, Abaraham Lincoln dan Eleanor Roosevelt, sekaligus juga gagasan-gagasan kontemporernya yang dipandang mempunyai kesehatan mental yang sangat luar biasa.
Maslow menggambarkan beberapa karakteristik yang ada pada manusia yang mengaktualisasikan dirinya:
1.      Kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri
2.      Keterbukaan dan spontanitas
3.      Kemampuan untuk menikmati pekerjaan dan memandang bahwa pekerjaan merupakan sesuatu misi yang harus dipenuhi
4.      Kemampuan untuk mengembangkan persahabatan yang erat tanpa bergantung terlalu banyak pada orang lain
5.      Mempunyai selera humor yang bagus
6.      Kecenderungan untuk meraih pengalaman puncak yang memuaskan secara spiritual maupun emosional





BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis dan empiris terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi disekitar untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran yang dimaksud adalah keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat (Iskandar, 2009)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang bisa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena atau gejala sosial alamiah yang digunakan sebagai sumber data (Iskandar, 2009).

B.     Lokasi Penelitian
Dalam Penelitian ini, wawancara dan observasi akan dilaksanakn di tempat kerja subjek didaerah SM, Kota Grs. Dan pencarian sumber data lain di proses dengan cara wawancara melalui pesawat telepon..

C.     Sumber Data
1.     

16
 
Subjek
Nama          : Bapak E
Usia           : 44 Tahun
Pekerjaan   : Security
Dengan kriteria subjek penelitian adalah :
a.       Subjek mengalami disabilitas fisik akibat kecelakaan
b.      Subjek mengalami kecelakaan saat dalam usia produktif
Sumber data dihasilkan dari proses observasi dan wawancara dengan subjek. Wawancara dilakukan dengan mendalam untyk mendapatkan informasi lebih banyak dan diharapkan dapat mengungkap informasi yang unik dari subjek tersebut.
2.      Teman subjek
Nama               : Ibu M
Jenis kelamin   : Perempuan
Usia                 :  43 Tahun
Untuk menambah informasi lain, peneliti menambah responden lain. Dalam hal ini peneliti memilih teman subjek yang tinggal satu desa dengan subjek. Agar informasi yang didapat bisa saling melengkapi. Semua data yang
1.      Cara Pengumpulan Data
1.      Wawancara
Menurut Narbuko dan Acmadi (2007) wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti (Poerwandari, 2007).
2.      Observasi
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Junker (Moleong, 2000) membagi peran pengamat dalam sebuah observasi penelitian menjadi empat, yaitu berperan serta lengkap, pemeran serta sebagai pengamat, pengamat sebagai pemeran serta dan pengamat penuh.
3.      Studi Dokumentasi
Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record (setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting), yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seseorang penyidik. (Guba dan Lincoln dalam Moloeng, 2007)

2.      Prosedur Analisis dan Interpretasi Data
Prosedur dalam analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono) yang terdiri dari Reduksi Data, Display Data, dan Penarikan Kesimpulan atau verifikasi.
1.      Reduksi Data
Data atau informan yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan mentah diringkas, disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan pokok-pokok penting yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga lebih mudah untuk mendeskripsikan mengenai program penerimaan diri pada penyandang disabilitas fisik akibat kecelakaan.

2.      Display Data
Pengumpulan data dari hasil penelitiian yang dilakukan secara bertahap atau keseluruaha dengan cara mengklarifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan agar lebih mudah dipahami. Karena teknik pengumpulan data sepertio wawancara dan observasi itu tidak cukup untuk satu atau dua kali saja, diperlukan beberapa kali sehingga data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.
3.      Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan dibuat kesimpulan dari semua data yang terkumpul yang diolah, untuk kemudian dicari apakah semua data layak dimasukkan dan diterapkan sesuai dengan ranccangan penelitian.

3.      Keabsahan Data
Untuk menguji Keabsahan data dalam penelitian ini digunakan teknik Triangulasi. Teknik Triangulasi menurut Moleong (2012) adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, teori.
Triangulasi dengan sumber (Patton 1987 dalam Moloeng 2012) berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan :
Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
1.      Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi
2.      Membandingkan apa yang dikatakan orang dengan situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu
3.      Membandingkan keadaan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
4.      Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
Bentuk paling kompleks triangulasi data yaitu menggabungkan beberapa hasil pembandingan. Jika data-data konsisten, maka validitas ditegakkan.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Deskripsi Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah Bapak E, seorang penyandang disabilitas fisik. Subjek dulunya terlahir sehat dan normal, tiba-tiba terkenal kecelakaan lalu lintas saat beliau berusia sekitar 24 tahun. Subjek ditabrak oleh sebuat bus yang melju kencang dari arah belakang bapak E. Sehingga Subjek terseret jauh, yang menyebabkan Subjek mengalami kerusakan fungsi saraf pada tangan sebelah kanannya.
Subjek bekerja di sebuah PT di daerah Gr sebagai security. Subjek berkerja di PT tersebut selama kurang lebih 12 tahun. Setiap hari subjek bekerja selama 12 jam setiap hari, 2 minggu sekali subjek pulang ke rumahnya di desa di kota Lm karena subjek berasal dari kota tersebut. Subjek rela pisah dengan keluarganya karna kebutuhan hidup keluarganya. Di kota Gr subjek tinggal bersama teman-teman kerjanya di sebuah mess yang disediakan oleh tempat subjek bekerja.
Subjek adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara. Dan sekarang subjek telah memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan. Keduanya tinggal di sebuah desa di daerah kota Lm. Istri subjek kini berusia sekitar 40 tahun, dan anak perempuan subjek kini berusia 11 tahun, Keluarga subjek sangat mendukung dan menerima keadaan subjek dengan sepenuh hati.

B.     Hasil Penelitian
1.      Deskripsi Hasil Temuan
a.       Gambaran penerimaan diri
1)      Memiliki pandangan realistik

21
 
“….Ya waktu pertama –tama itu kan saya ngerasa putus asa mbak, saya merasa sudah nggak berguna mbak, pengen mati rasanya. Sampai-sampai saya dirumah itu menyendiri mbak, mengurung di kamar saya,saya kunci kamar saya. Bapak sama ibu saya itu sampe pisau-pisau di rumah itu sembunyikan, takutnya kan ya gitu mbak…Wcr112Hlm35”

2)      Dukungan social keluarga
“..Saya merasa aneh gitu mbak, kaya saya ini dibisiki sama orang. Saya dibisiki disuruh bangkit nggak boleh sedih terus, masak nggak kasian sama orang tua saya, masa saya harus seperti itu terus, yang cuma bisa ngerepotin orang tua sama kakak-kakak saya…Wcr115Hlm35 setelah saya dikasih upah itu tadi, saya mikir gimana kalo saya ikut kerja, kan lumayan bisa punya penghasilan sendiri, dari pada ngerepotin orang tua mbak…Wcr135Hlm35”

b.      Faktor-faktor pendukung penerimaan diri
1)      Dukungan social Keluarga
“…Ya untungnya keluarga saya itu ya kasian sama saya mbak, mereka masih ngedukung saya biar tetep semangat ...Wcr107Hlm27 …Bapak sama ibu saya itu sampe pisau-pisau di rumah itu sembunyikan, takutnya kan ya gitu mbak …Wcr115Hlm35”
“…Hahaaha, setelah pertemuan itu kan saya balik kerja lagi mbak. Lah pas kerja saya ditelfon sama bapak saya di desa. Katanya saya sama orang tuanya istri saya. Saya kaget itu mbak, saya juga minta jelasin ke bapak saya kalau saya keadaannya kaya gini. Dan ternyata istri sama mertua saya itu memahami saya mbak.. Seneng sekali saya waktu itu mbak…Wcr168Hlm335”
“…Keluarganya itu baik nak, di sekitar rumahnya keluarga pak E itu dikenal baik.. suka menolong orang yang kesusahan, meskipun dikeluarganya sendiri ada kesusahan.. saya sama teman-teman saya waktu mengunjungi pak E dirumah setelah dia kecelakaan itu, orang tuanya nyambut saya itu baiiiikk banget… tapi waktu itu pak E masih belum mau keluar dari kamarnya, katanya masih belum bisa diajak bicara.. sudah dibujuk buat makan sama keluar dari kamar itu nggak mau dia…Wcr14Hlm37”
2)      Dukungan social lingkungan
“…Setelah itu juga kakak saya yang kerja di pabrik semen itu ngajakin saya ikut kerja mbak, kirim-kirim barang… Iya mbak, awalnya saya ngelamar di tempat kakak saya bekerja, disitu saya juga menjelaskan ke atasannya kalau kondisi saya seperti ini. Untungnya mbak ya, atasannya itu mau nerima saya. Meskipun kerjaan yang diberikan itu nggak terlalu tinggi mbak…Wcr1455Hlm28”

2.      Analisis Hasil Temuan
Subjek sebenarnya memiliki semangat dan keinginan yang kuat untuk bangkit. Subjek merasa harus bangkit dari putus asanya setelah mengalami kecelakaan tersebut. Subjek juga merasa tidak nyaman jika selalu merepotan keluarganya karena keadaan subjek yang baru. Dengan semangatnya itu akhirnya subjek dapat menerima keadaan dirinya yang sudah tidak normal seperti dulu.
Keluarga dan kerabat dekat subjek sangat menyayangi subjek, terlihat ketika subjek mendapat musibah tersebut keluarga subjek selalu memberi dukungan dan semangat positif agar subjek dapat bangkit dari keputus asaannya. Kini subjek dapat bersosialisasi dan menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan baik. Bahkan saat subjek baru saja keluar dari rasa putus asanya, kaka subjek langsung mengajak subjek untuk ikut kerja bersama. Hal itu dilakukan kakak subjek untuk menghilangkan pikiran negative subjek tentang dirinya sendiri. Dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang baik, subjek merasa dirinya dapat bermanfaat untuk lingkungan sekitar.
Dukungan social lingkungan pun sangat mendukung proses penerimaan diri subjek. Setelah subjek melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, akhirnya subjek pun diterima bekerja disuatu perusaan meskipun jabatan pekerjaan yang diberikan tidak terlalu tinggi. Atasan kerja subjek sangat menerima kekurangan pada diri subjek. Subjek diterima di perusahaan tersebut dikarenakan minat dan kesungguhan subjekdalam berkerja sangat dikagumi oleh atasan subjek
.
3.      Pembahasan
Somantri (2007) mengartikan disabilitas sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal atau dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan berdiri sendiri. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir.
Disabilitas fisik diakibatkan karena kecelakaan akan membuat seseorang mengalami trauma bahkan keputus asaan pada dirinya. Membuat seseorang menjadi tidak percaya akan kondisi fisiknya yang cacat akibat kecelakaan. Subjek pada penelitian ini sempat mengalami hal tersebut pasca subjek mengalami kecelakaan.
Menurut Supratiknya (1995), suatu penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain. Subjek dalam penelitian kali ini dapat merelakan dan membuka diri atau mengungkapkan pikiran. Eskipun pada awalnya belum dapat menerima keadaan dirinya. Subjek merasa malu dan kurang percaya diri jika bertemu dengan orang-orang. Subjek pun mengurung diri di kamarnya. Tetapi setelah subjek merenung, subjek merasa subjek tidak boleh berlarut-larut dalam keputus asaannya. Subjek harus dapat bangkit agar tidak menjadi beban bagi kedua orang tua subjek. Akhirnya subjek pun memutuskan untuk bangkit dengan keluar dari kamarnya.
Setelah keluar dari kamar, subjek mencoba untuk membangkun semangat kembali dengan berkumpul dengan keluarga. Kakak subjek yang sangat mempedulikan subjek, mencoba mengajak subjek untuk ikut bekerja di suatu perusaahan tempat kakak subjek bekerja. Subjek pun menerima ajakan kakak subjek. Subjek mencoba melamar pekerjaan di perusahaan tersebut dan akhirnya diterima. Meskipun jabatan pekerjaan yang diberikan tidak terlalau tinggi. Subjek sangat senang saat itu, karena subjek merasa lingkungan telah menerima dan mendukung dirinya.
Dalam teori Hurlock (2004) menyatakan salah satu faktor yang dapat mendukung penerimaan dri adalah Keberhasilan. Individu menerima dirinya, harus mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga potensinya tersebut dapat berkembang secara maksimal. Subjek dalam penelitian ini berhasil mengembangka potensi dirinya untuk diterima oleh lingkungan sekitar dan berguna bagi benyak orang.
Seseorang yang dapat mengatur dan bertoleransi dengan keadaan emosi. Dasar individu yang baik adalah kesan positif terhadap dirinya sendiri sehingga dengan demikian seseorang akan dapat bertoleransi dengan frustrasi dan kemarahan atas kekurangan dirinya dengan baik tanpa perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan bermusuhan Allport (1997, dalam Hjelle & Zieglar, 1981). Subjek mengaku dapat mengikat hubungan yang baik dengan orang lain, meskipun orang tersebut telah mengejek dan mencemooh subjek. Bagi subjek ejekan tersebut adalah pemberian motivasi untuk subjek. Dan subjek berfikir orang yang menejek subjek belum tentu bisa menjadi sekuat subjek jika orang tersebut mengalami kecelakaan seperti yang dialami subjek.


BAB V
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Menjadi penyandang disabilitas fisik akibat kecelakaan tidaklah mudah, seseorang akan mengalami keputus asaan, malu, dan kurangnya rasa percaya diri. Apa lagi jika minat dirinya kurang, orang tersebut akan mudah menyerah dan bahkan tidak dapat menerima keadaan dirinya.
Penerimaan diri adalah seseorang yang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadinya dan mampu melangsungkan hidupnya dengan suatu kelebihan dan kekuranganya tanpa menyalahkan orang lain, dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain.Subjek dalam penelitian ini menerima kelemahan dan kelebihan dirinya. Subjek akhirnya dapat menerima keadaan dirinya sebagai penyandang disabilitas awalnya subjek belum bisa menerima dirinya. Atas dukungan keluarga dan kerabat dekat, subjek dapat bersemangat kembali dan melakukan aktivitas sehari-harinya dengan baik sebagai penyandang disabilitas fisik akibat kecelakaan.

B.     Saran
Saran yang dapat diberikan kepada subjek :
1.      Subjek harus dapat mempertahan semangat yang ada dalam diri subjek agar subjek dapar terus menjalani aktivitas sehari-harinya dengan baik.

27
 
Saran yang dapat duberikan kepada keluarga dan kerabat dekat subjek :
1.      Keluarga dan kerabat dekat subjek harus selalu mendukung dan menyemangati ativitas yang dilakukan subjek selama aktivitas tersebut bernilai positif. Keluarga juga sebaiknya tidak mengucilkan atau memberikan perhatian yang berbeda terhadap subjek.



DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press
Butler-B., Tom. (2005). 50 Self-Help Classics. Diterjemahkan oleh Rachma Christiani Subekti. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Chaplin, J.P. (2005). Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Darajat, Z. (2003). Penyesuaian Diri. Jakarta: Bulan Bintang.
Feist J & Feist G,J . (2008). Theories of Personality. Edisi ke-6. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fitriana, A. (2013). Self Concept Dengan Adversity Quotient Pada Kepala Keluarga Difabel Tuna Daksa. Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 01.
Fromm, E. (1939). “Selfishness and Self-Love” Psychiatry, II. 507-23
Goble, Frank G. (1987). Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow (judul asli:The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow). Diterjemahkan oleh Drs. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.
Hjelle, L. A. & Ziegler, D. S. (1981). Personality Theories : Basic Assumptions,Researsch, and Application. Tokyo : Mc Graw Hill Inc
Hurlock, E.B. (2004). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.Cetakan Ke-5. Jakarta: Erlangga
Infodatin Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Penyandang Disabilitas Anak 2014
Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada (GP Press)
Izzati, A. & Olivia T. (2012). Waluya. Gambaran Penerimaan diri Pada Penderita Psoriasis. Jurnal Psikologi Volume 10 No. 2.
Horney, K. (1937). The Neurotic Personality Of Our Time (New York, New York : Norten)
Kenneth, L. (1973). Self-Acceptance and Leader Effectiveness. Journal of Extension. Texas A&M University. Demnark
Moloeng, L.J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Edisi revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Papalia, D.E, Olds., Feldman, R,D. (2004). Human Development McGraw-Hill.New York
Purnaningtyas, A. A.(2012). Penerimaan Diri Pada Laki-laki Dewasa Penyandang Disabilitas Fisik Karena Kecelakaan. Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Somantri,S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama
Supraktiknya. (1995). Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologi. Yogyakarta: Kanisius
Undang-undang No.4 Tahun 1997 pasal 1 ayat 1tentang Penyandang Cacat.pdf
Undang-undang No. 19 Tahun 2011tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas.pdf
Yeager, R. L. (2006). Ejournal USA Society & Values Disability & Ability. U.S Departement Of State / Bureau Of International Information Programs. Vol 11, No 11